
Pembayaran zakat semakin berkembang di era digital. Di beberapa negara, seperti Malaysia dan Inggris, Bitcoin sudah mulai digunakan sebagai alat pembayaran zakat. Namun, pembayaran zakat menggunakan aset kripto masih belum umum dilakukan di Indonesia.
Pengguna aset kripto di Indonesia
kerap kali mempertanyakan hukum dalam membayar zakat menggunakan Bitcoin.
Selain itu, mereka juga seringkali bertanya apakah aset kripto yang mereka
miliki wajib dikenakan zakat atau tidak.
Kepemilikan Bitcoin Wajib
Dizakatkan
Menurut Pengurus Wilayah
Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur, Bitcoin dikategorikan sebagai harta. Maka,
Bitcoin wajib dikeluarkan zakatnya karena kesamaannya dengan nuqud yang
menyerupai dain.
Nuqud merujuk pada uang tunai dan
dain merujuk pada piutang atau tagihan di masa mendatang.
Pandangan tersebut didasarkan
pada Kitab Hukum Ekonomi Syariah Pasal 678, yang menyatakan bahwa harta yang
mencapai nisab dan telah melampaui satu haul harus dikeluarkan zakatnya.
Nisab dalam zakat adalah ambang
batas minimal harta yang harus dimiliki agar wajib dikenakan zakat, sementara
haul adalah periode satu tahun kalender hijriyah di mana harta tersebut belum
dikeluarkan zakatnya.
Besar zakat adalah 2,5% dari
nilai harta yang mencapai nisab. Nisab dan besaran zakat berbeda tergantung
pada jenis harta yang dimiliki.
Nilai nisab untuk zakat
penghasilan adalah sebesar 85 gram emas atau setara dengan nilai uang tunai.
Sebagai referensi, pada tanggal 18 April 2023, harga 85 gram emas Antam (24
karat) sekitar sekitar Rp58,43 juta.
Untuk mengetahui apakah Bitcoin
mencapai nisab, maka pemilik harta harus mengetahui nilai tukarnya dalam bentuk
uang tunai pada saat dihitung.
Contohnya, jika 1 Bitcoin = 500
juta rupiah, maka jika seseorang memiliki 17,5 bitcoin atau setara dengan 8,75
miliar rupiah, maka perlu dizakatkan. Besarnya zakat adalah 2,5% dari nilai
harta tersebut atau sebesar 218,75 juta rupiah.
Saat ini belum ada masjid yang
menaungi zakat menggunakan Bitcoin. Pemilik harta disarankan untuk melakukan
zakat menggunakan uang fiat untuk mewakili zakat aset Bitcoin miliknya.
Pandangan MUI Soal Zakat
Menggunakan Bitcoin
Pandangan mayoritas, Bitcoin
dikatakan haram sebagai alat tukar dan investasi karena mengandung unsur
spekulasi. Bitcoin juga memiliki unsur ketidakjelasan (gharar) dan risiko
kerusakan yang lebih besar daripada manfaatnya.
Sebuah penelitian dari
Universitas Jember (2020) menyatakan Bitcoin dapat dikatakan haram karena
mengandung unsur gharar dan tidak didapat digunakan sebagai pembayaran zakat.
Ini diperkuat dengan Fatwa MUI No
13 Tahun 2011 tentang Hukum Zakat atas Harta Haram yang menegakan bahwa harta
haram tidak menjadi objek wajib zakat. Zakat wajib ditunaikan dari harta yang
halal, baik hartanya maupun cara perolehannya.
Yayasan Rahmania Terima Zakat
Bitcoin
Pembayaran zakat menggunakan aset
kripto belum umum dilakukan di Indonesia. Namun, bukan berarti tidak ada
yayasan atau pun platform yang menaunginya.
Salah satu yayasan yang
menyediakan layanan pembayaran zakat menggunakan aset kripto ialah Blossom
Finance yang bekerja sama dengan sebuah yayasan di Jakarta Timur, Rahmania
Foundation.
Blossom Finance ialah sebuah
startup yang menawarkan pembiayaan syariah untuk usaha mikro menggunakan
Bitcoin. Perusahaan tersebut berpusat di Amerika Serikat, tetapi memiliki
kantor di Jakarta.
Sementara itu, Rahmania
Foundation adalah yayasan yang menaungi anak-anak yatim dan masyarakat tidak
mampu. Yayasan tersebut berbasis di Pulogadung, Jakarta Timur.
Rahmania Foundation menerima
zakat yang dibayarkan ke alamat dompet di bursa mata uang kripto Indodax.
Adapun jenis aset kripto yang
diterima antara lain Bitcoin (BTC), Ethereum (ETH), dan USDT. Untuk mengetahui
informasi lebih lanjut dapat mengirim surel ke info@rahmaniafoundation.org atau
mengunjungi situs ini.
Sumber: Coinvestasi

05 09 2018
.jpg)
04 09 2018